Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Friday, September 30, 2011

cerpen fauzan dari gus mus

by Unknown  |  in cerita at  4:49 AM

37137777773773¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶§37733333377373377777
173337313773§¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶373333777337777777
13773137731¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶37771133337771737
37333773§¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶§¶3771333773171377
371373¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶§¶¶¶¶¶733333777§77777
377373§¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶§¶¶3§¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶§373333333173777
377773¶¶§¶¶¶¶§§§§¶¶¶¶¶¶§§¶¶¶¶¶§§§¶¶333773333313337
37373¶¶¶¶§¶¶¶¶¶¶§¶¶¶§¶¶¶¶§111§¶¶¶¶¶§77777733117777
3737§¶¶¶¶¶¶§¶¶¶¶¶§¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶§77777777§37337
3773§¶¶¶§§¶¶¶13¶¶§§3§¶§¶¶§§¶¶¶¶¶§¶1317737777733333
33711¶¶§¶¶¶¶377§¶§¶37§¶1¶¶1§1117771¶¶7737777333333
77733¶§§¶¶¶77373¶1¶373§¶1§¶§¶¶§¶17§¶¶3733373§17333
77773¶§¶¶¶171337¶3¶17373¶§§§§§¶¶§¶¶¶¶§373373377737
77773¶¶¶¶¶133337§3§1771§11¶¶§11§¶¶¶¶¶1333773777777
13773¶¶§¶¶§31337§7§73¶¶31371§¶¶¶¶¶§1¶3717713777777
37777¶¶¶§¶¶33333171§¶¶7771377§¶¶§71¶¶3737717337377
37177§¶¶§¶¶7133317§¶17771177773§17¶¶§7713173337777
71137§3¶§¶¶3337333§1773¶¶373773¶§1¶¶13717113333377
3737713¶¶¶¶733377313§¶¶¶7333377¶13¶¶§7777333331373
1777737§¶¶§§¶¶¶¶373333373333777111¶§§3771177337777
77777777§¶¶¶1773¶73337333333777717§¶§373§777777777
377777777§¶¶¶3§¶¶73133333333737737§¶11333777777377
37737777173¶¶¶¶§337333333333377777§¶§1373777733133
773§777337731¶773373733333337777371§7¶§37337711§33
7§13333777777§¶711731133373377773711731131777§3377
33333377777777§13§¶¶137731333773373177773333173177
737313777777777133113731§§373773777337777731373777
7337333777717777§3731§§133337733777733777771777777
373777777777311§¶¶33¶§3313337737777777777777771777
7717777771§¶¶¶¶§§¶¶171§133337333737777777777773773
37377773¶¶¶¶¶§§¶¶§§¶§73333377337777777777777777773
377777§§§¶¶§§¶¶§§§§§¶¶3333733333337377777777333777
37777117¶¶¶§¶¶§1¶¶¶§111333113333333333377773333733
3777377¶§7§¶¶§¶¶¶11§§§§¶¶¶¶§1333333333333771333333
373731¶173¶¶¶¶¶§§§¶§§¶¶§¶¶§¶¶313333333333713333333
3733§§77§¶¶¶¶§§¶¶§1¶¶1311¶¶§§§11333333333313333333
373§173¶¶71¶§§¶§§1¶¶11§1111§¶111133333331133333333
77317¶¶§771§§§§§§¶¶33§777777§¶31113133331133333333
7733¶¶777¶¶§§¶¶§¶§33§77737777¶§111111111§333333333
371§1771¶¶¶¶111111§1773777737§¶§1111311§3733333333
371133¶¶¶11§§¶¶§¶¶173737777773¶§§11111137333333333
33371¶¶§77¶¶¶¶§¶¶1777777777777¶¶§11111373333333333
3731¶§777¶¶¶§1¶¶17331113137773¶¶§11313733333333337
37§§3771¶¶§13¶¶§73377771§§777§¶¶111133333333333377
311311¶¶¶173¶¶§1377311§§§337¶¶¶¶131133333333333777
33331¶¶¶111§¶¶§1333¶¶¶¶¶¶177¶¶¶¶§11133333333333773
373§¶¶§7§¶1§¶§¶3333777¶777377¶¶§§1§173333333333331
1311333§¶¶1¶¶1¶33333733333337§¶§§§1173333333313333
33§§§¶¶¶¶§1¶¶1§§33333777333377¶¶§1§173333333313713
33§¶¶¶¶1¶¶131¶1§73333333333377§¶§§§173333333313713
1§¶§¶¶§§¶¶¶773111733333333331¶¶§§1§133333333313317
§¶§¶¶¶1¶¶¶¶77§¶§137333333377¶¶¶§§11§73337333117333
¶§¶¶¶1§¶§1§¶1§1§113733333337§¶¶§§11§73333333117333
§¶¶¶13¶¶11¶¶3¶§§§1113371§11§¶¶§1¶13§333373331§7333
¶¶¶13¶¶§1¶¶¶§§¶1§§1133333331¶§31¶§31333333373§3333
¶¶37¶¶¶§¶¶¶1717777711711337¶¶§3§¶§31333333133§§333
¶33¶§¶¶¶§7773§7177771171177§¶¶1§1§133333313331¶173
31§¶¶§¶37733¶13733777§77373¶§3¶¶71¶33333317737§§73
¶3¶¶¶¶71§§§¶37§331377§173¶¶§1§§113¶131133777371133
11¶¶¶37333177331333371377¶¶§¶¶131173733337737173§1
1¶¶¶11§33333113113771§7773¶§§11§§37777133131¶3377§
7¶¶33313733333333377§37777§§¶371377777711177¶33¶33
§¶§§§§§§1333377777337377777¶§777777777713371713¶17
¶§7333333111377377777337777¶§17773177777317§11§773
¶¶§§§1137333337777773733777¶¶17773¶31§171171§11317
¶331111§1133333373733773777§¶7777777§33§37§31§3§¶1
¶73333773311333333373377777777717777771§33¶§17371¶
¶1¶§§§§13373333333333177777777777773§131§131¶§¶¶§3
371§111§¶§33113313331377777773377771§1§173773§§113
77773337733333333333377777777337777711177777711333
Di antara putera-putera Kiai
Saleh, pengasuh pesantren
"Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di
daerah kami, Gus Jakfar-lah
yang paling menarik perhatian
masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai
saudara-saudaranya, tapi dia
mempunyai keistimewaan yang
membuat namanya tenar hingga
ke luar daerah, malah konon
beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus
ke rumahnya setelah
mengunjungi Kiai Saleh. Kata
Kang Solikin yang dekat dengan
keluarga ndalem, bahkan Kiai
Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih
tua dari beliau sendiri," cerita
Kang Solikin suatu hari kepada
kawan-kawannya yang sedang
membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak
paham apa maksudnya." "Tapi,
Gus Jakfar memang luar biasa,"
kata Mas Bambang, pegawai
Pemda yang sering mengikuti
pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja
mereka melihat kening orang,
kok langsung bisa melihat
rahasianya yang tersembunyi.
Kalian ingat, Sumini yang anak
penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu,
sebelum dilamar orang sabrang
kan ketemu Gus Jakfar. Waktu
itu Gus Jakfar bilang, 'Sum,
kulihat keningmu kok bersinar,
sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak lama kemudian orang
sabrang itu datang melamarnya."
"Kang Kandar kan juga begitu,"
timpal Mas Guru Slamet. "Kalian
kan mendengar sendiri ketika
Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat
hidung sampeyan kok sudah
bengkok, sudah capek menghirup
nafas ya?' Lho, ternyata
besoknya Kang Kandar
meninggal." "Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya
berkelakar," sahut Ustadz Kamil,
"Nggak tahunya beliau sedang
membaca tanda pada diri Kang
Kandar." "Saya malah mengalami
sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah
kepingin ikut bicara. "Waktu itu,
tak ada hujan tak ada angina,
Gus Jakfar bilang kepada saya,
'Wah, saku sampeyan kok
mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku
saya justru sedang kemps. Dan
percaya atau tidak, esok harinya
saya memenangkan tender yang
diselenggarakan Pemda tingkat
propinsi." "Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak
Carik yang sejak tadi hanya
asyik mendengarkan. "Mungkin
saja," jawab Ustadz Kamil.
"Makanya saya justru takut
ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu
pikiran saya terganggu." ***
Maka, ketika kemudian sikap Gus
Jakfar berubah, masyarakat pun
geger; terutama para santri
kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak
tinggal di pesantren seperti Kang
Solikin yang selama ini merasa
dekat dengan beliau. Mula-mula
Gus Jakfar menghilang
berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu
sikapnya berubah menjadi
manusia biasa. Dia sama sekali
berhenti dan tak mau lagi
membaca tanda-tanda. Tak mau
lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas
kata, dia benar-benar kehilangan
keistimewaannya. "Jangan-jangan
ilmu beliau hilang pada saat
beliau menghilang itu," komentar
Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali!
Apa gerangan yang terjadi pada
beliau?" "Ke mana beliau pergi
saat menghilang pun, kita tidak
tahu;" kata Lik Salamun. "Kalau
saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan
mengetahui apa yang terjadi
pada beliau dan mengapa beliau
kemudian berubah." "Tapi,
bagaimanapun ini ada
hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap
saat menemui Gus Jakfar tanpa
merasa deg-degan dan was-was;
bisa mengikuti pengajiannya
dengan niat tulus mencari ilmu.
Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi
dengan gus kita ini hingga
sikapnya berubah atau ilmunya
hilang, sebaiknya kita langsung
saja menemui beliau." Begitulah,
sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan
salat Isya, saat mana Gus Jakfar
prei, tidak mengajar; rombongan
santri kalong sengaja
mendatangi rumahnya. Kali ini
hampir semua anggota rombongan merasakan
keakraban Gus Jakfar, jauh
melebihi yang sudah-sudah.
Mungkin karena kini tidak ada
lagi sekat berupa rasa segan,
was-was dan takut. Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya
Ustadz Kamil berterus terang
mengungkapkan maksud utama
kedatangan rombongan: "Gus, di
samping silaturahmi seperti biasa,
malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus.
Singkatnya, kami penasaran dan
sangat ingin tahu latar belakang
perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus
Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini
ada-ada saja. Saya kok merasa
tidak berubah." "Dulu sampeyan
kan biasa dan suka membaca
tanda-tanda orang," tukas Mas
Guru Slamet, "kok sekarang tiba- tiba mak pet, sampeyan tak mau
lagi membaca, bahkan diminta
pun tak mau." "O, itu," kata Gus
Jakfar seperti benar-benar baru
tahu. Tapi dia tidak segera
meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah
menyeruput kopi di depannya,
dia melanjutkan, "Ceritanya
panjang." Dia berhenti lagi,
membuat kami tidak sabar, tapi
kami diam saja. "Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya
Gus Jakfar bertanya, membuat
kami yakin bahwa dia benar-
benar siap untuk bercerita. Maka
serempak kami mengangguk.
"Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh
mencari seorang wali sepuh yang
tinggal di sebuah desa kecil di
lereng gunung yang jaraknya
dari sini sekitar 200 km kea rah
selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya
kiai-kiai tertentu yang tahu
tentang kiai yang usianya sudah
lebih 100 tahun ini. Santri-santri
yang belajar kepada beliau pun
rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing." "Terus
terang, sejak bermimpi itu, saya
tidak bisa menahan keinginan
saya untuk berkenalan dan kalau
bisa berguru kepada Wali
Tawakkal itu. Maka dengan diam- diam dan tanpa pamit siapa-
siapa, saya pun pergi ke tempat
yang ditunjukkan ayah dalam
mimpi dengan niat bilbarakah dan
menimba ilmu beliau. Ternyata,
ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai
mengaku tidak mengenal nama
Kiai Tawakkal. Baru setelah
seharian melacak ke sana
kemari, ada seorang tua yang
memberi petunjuk." 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di
sana itu' katanya. 'Nanti nakmas
akan berjumpa dengan sebuah
sungai kecil; terus saja nakmas
menyeberang. Begitu sampai
seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu.
Nah, kemungkinan besar orang
yang nakmas cari akan nakmas
jumpai di sana. Di gubuk yang
terletak di tengah-tengah itulah
tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini
memanggilnya Mbah Jogo.
Barangkali itulah yang nakmas
sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai
Tawakkal.' 'Ya, Kiai Tawakkal.
Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' "Saya pun mengikuti
petunjuk orang tua itu,
menyeberang sungai dan
menemukan sekelompok rumah
gubuk dari bambu." "Dan betul, di
gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan
Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo
sedang dikelilingi santri-santrinya
yang rata-rata sudah tua. Saya
diterima dengan penuh
keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari
mereka. Dan kalian tahu?
Ternyata penampilan Kiai
Tawakkal sama sekali tidak
mencerminkan sosoknya sebagai
orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua
matanya indah memancarkan
kearifan. Bicaranya jelas dan
teratur. Hampir semua kalimat
yang meluncur dari mulut beliau
bermuatan kata-kata hikmah." Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti,
menarik nafas panjang, baru
kemudian melanjutkan, "Hanya
ada satu hal yang membuat saya
terkejut dan tgerganggu. Saya
melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas
sekali, seolah-olah saya membaca
tulisan dengan huruf yang cukup
besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'.
Astaghfirullah! Belum pernah
selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin
tidak mempercayai apa yang
saya lihat. Pasti saya keliru.
Masak seorang yang dikenal wali,
berilmu tinggi, dan disegani
banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin.
Saya mencoba meyakin-yakinkan
diri saya bahwa itu hanyalah ilusi,
tapi tak bisa. Tanda itu terus
melekat di kening beliau. Bahkan
belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau
habis berwudhu. Gila!" "Akhirnya
niat saya untuk menimba ilmu
kepada beliau, meskipun secara
lisan memang saya sampaikan
demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk
menyelidiki dan memecahkan
keganjialan ini. Beberapa hari
saya amati perilaku Kiai
Tawakkal, saya tidak melihat
sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari
tidak begitu berbeda dengan
kebanyakan kiai yang lain:
mengimami salat jamaah;
melakukan salat-salat sunnat
seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab
(umumnya kitab-kitab besar);
mujahadah; dzikir malam;
menemui tamu; dan semacamnya.
Kalaupun beliau keluar, biasanya
untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat
jarang sekali- mengisi pengajian
umum. Memang ada kalanya
beliau keluar pada malam-malam
tertentu; tapi menurut santri-
santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang
sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak
muda. Semacam lelana brata,
kata mereka." "Baru setelah
beberapa minggu tinggal di
'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau
tepatnya keberanian untuk
mengikuti Kiai Tawakkal keluar.
Saya pikir, inilah kesempatan
untuk mendapatkan jawaban
atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya." "Begitulah,
pada suatu malam purnama, saya
melihat Kiai keluar dengan
berpakaian rapi. Melihat
waktunya yang sudah larut,
tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan
atau lainnya. Dengan hati-hati
saya membuntutinya dari
belakang; tidak terlalu dekat,
tapi juga tidak terlalu jauh. Dari
jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan
langkah yang tetap tegap. Akan
ke mana beliau gerangan? Apa ini
yang disebut semacam lelana
brata? Jalanan semakin sepi;
saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba
Kiai menoleh ke belakang."
"Setelah melewati kuburan dan
kebun sengon, beliau berbelok.
Ketika kemudian saya ikut belok,
saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat
justru sebuah warung yang
penuh pengunjung. Terdengar
gelak tawa ramai sekali. Dengan
bengong saya mendekati warung
terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita-
yang satu masih muda dan yang
satunya lagi agak lebih tua-
dengan dandanan yang menor
sibuk melayani pelanggan sambil
menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai
mampir ke warung ini, pikir saya.
Ke warung biasa saja tidak
pantas, apalagi warung yang
suasananya saja mengesankan
kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba- tiba saya dikagetkan oleh suara
yang tidak asing di telinga saya,
memanggil-manggil nama saya.
Masyaallah, saya hampir-hampir
tidak mempercayai pendengaran
dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai
Tawakkal melambaikan tangan
dari dalam warung. Ah. Dengan
kikuk dan pikiran tak karuan,
saya pun terpaksa masuk dan
menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung
penuh dengan asap rokok. Kedua
wanita menor menyambut saya
dengan senyum penuh arti. Kiai
Tawakkal menyuruh orang
disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat
sedikit!' Lalu, kepada orang-
orang yang ada di warung, Kiai
memperkenalkan saya. Katanya,
'Ini kawan saya, dia baru datang
dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'.
Mereka yang duduknya dekat
serta merta mengulurkan
tangan, menjabat tangan saya
dengan ramah; sementara yang
jauh melambaikan tangan". "Saya masih belum sepenuhnya
menguasai diri, masih seperti
dalam mimpi, ketika tiba-tiba
saya dengar Kiai menawari,
'Minum kopi ya?!' Saya
mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai
kepada wanita warung sambil
mendorong piring jajan ke dekat
saya. 'Silakan! Ini namanya rondo
royal, tape goreng kebanggan
warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal
mengangguk." "Kiai Tawakkal
kemudian asyik kembali dengan
'kawan-kawan'-nya dan
membiarkan saya bengong
sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai
Tawakkal yang terkenal
waliyullah dan dihormati para kiai
lain bisa berada di sini. Akrab
dengan orang-orang beginian;
bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana
brata? Ataukah ini merupakan
dunia lain beliau yang sengaja
disembunyikan dari umatnya?
Tiba-tiba saya seperti mendapat
jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan
karenanya saya bersusah payah
mengikutinya malam ini. O, pantas
di keningnya kulihat tanda itu.
Tiba-tiba sikap dan pandangan
saya terhadap beliau berubah." 'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba
suara Kiai Tawakkal
membuyarkan lamunan saya. 'Kita
pulang, yuk!' Dan tanpa
menunggu jawaban saya, Kiai
membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai
kepada semua, kemudian keluar.
Seperti kerbau dicocok hidung,
saya pun mengikutinya. Ternyata
setelah melewati kebon sengon,
Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui.
'Biar cepat, kita mengambil jalan
pintas saja!' katanya." "Kami
melewati pematang, lalu
menerobos hutan, dan akhirnya
sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan
kejadian yang menggoncangkan.
Kiai Tawakkal berjalan di atas
permukaan air sungai, seolah-
olah di atas jalan biasa saja.
Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang
masih berdiri mematung. Beliau
melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung
saya bisa berenang; saya pun
kemudian berenang
menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang,
ternyata Kiai Tawakkal sudah
duduk-duduk di bawah pohon
randu alas, menunggu. 'Kita
istirahat sebentar,' katanya
tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya
waktu, insya Allah sebelum subuh
kita sudah sampai pondok.'
Setelah saya ikut duduk di
sampingnya, tiba-tiba dengan
suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau
sudah menemukan apa yang
kaucari? Apakah kau sudah
menemukan pembenar dari tanda
yang kaubaca di kening saya?
Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang
mahir melihat tanda-tanda
menjadi ragu terhadap
kemahiranmu sendiri?' Dingin air
sungai rasanya semakin menusuk
mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu.
Saya tidak bisa berkata apa-apa.
Beliau yang kemudian terus
berbicara. 'Anak muda, kau tidak
perlu mencemaskan saya hanya
karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun
tidak perlu bersusah-payah
mencari bukti yang menunjukkan
bahwa aku memang pantas
masuk neraka. Karena, pertama,
apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan
kalbumu yang bening. Kedua, kau
kan tahu, sebagaimana neraka
dan sorga, aku adalah milik Allah.
Maka terserah kehendak-Nya,
apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk
memasukkan hamba-Nya ke
sorga atau neraka,
sebenarnyalah Ia tidak
memerlukan alasan. Sebagai kiai,
apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu
ke sorga kelak? Atau kau berani
mengatakan bahwa orang-orang
di warung yang tadi kau
pandang sebelah mata itu pasti
masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik
oleh-Nya, kita ingin berdekat-
dekat dengan-Nya, tapi kita
tidak berhak menuntut balasan
kebaikan kita. Mengapa? Karena
kebaikan kita pun berasal dari- Nya. Bukankah begitu?' Aku
hanya bisa menunduk. Sementara
Kiai Tawakkal terus berbicara
sambil menepuk-nepuk punggung
saya. 'Kau harus lebih berhati-
hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang
berupa anugerah tidak kalah
gawatnya dibanding cobaan yang
berupa penderitaan. Seperti
mereka yang di warung tadi;
kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau
bayangkan bersikap takabbur;
ujub, atau sikap-sikap lain yang
cenderung membesarkan diri
sendiri. Berbeda dengan mereka
yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk
takabbur dan sebagainya itu
datang setiap saat. Apalagi bila
kemampuan dan kelebihan itu
diakui oleh banyak pihak' Malam
itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan
pandangan baru dari apa yang
selama ini sudah saya ketahui.
'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai
bangkit. 'Sebentar lagi subuh.
Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak
merasa diusir; nyatanya memang
saya sudah mendapat banyak
dari kiai luar biasa ini." "Ketika
saya ikut bangkit, saya
celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung
saya terus berjalan. Kudengar
azan subuh berkumandang dari
sebuah surau, tapi bukan surau
bambu. Seperti orang linglung,
saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan
berjamaah salat subuh dengan
Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan
Kiai Tawakkal, orang yang mirip
beliau pun tak ada. Tak seorang
pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru
setelah sembahyang, seseorang
menghampiri saya. 'Apakah
sampeyan Jakfar?' tanyanya.
Ketika saya mengiyakan, orang
itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi
barang-barang milik saya sendiri.
'Ini titipan Mbah Jogo, katanya
milik sampeyan.' 'Beliau di mana?'
tanya saya buru-buru. 'Mana
saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi
semaunya. Tak ada seorang pun
yang tahu dari mana beliau
datang dan ke mana beliau
pergi.' Begitulah ceritanya. Dan
Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah
sikap saya itu tetap merupakan
misteri." Gus Jakfar sudah
mengakhiri ceritanya, tapi kami
yang dari tadi suntuk
mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar
kembali menawarkan
suguhannya.

0 komentar teman:

Proudly Powered by Blogger.