Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tuesday, April 3, 2012

Ijtihad Dan Taqlid

by Unknown  |  in ilmu fikih at  7:15 AM

Dalam terminologi yurisprudensi 
(hukum) Islam, kata Ijtihad dan 
Taqlid adalah dua kata yang tidak 
asing dan telah menjadi bahan 
pembahasan para fuqaha dan 
ushuliyyun sejak generasi 
terdahulu sampai sekarang. 
Akhir-akhir ini bahasan tentang 
keduanya mulai marak kembali, 
khususnya ketika muncul sebuah 
gerakan yang menamakan 
dirinya sebagai pengikut Al- 
Qur’an dan Sunnah Nabi saaw. 
Mereka acapkali disebut dengan 
mujaddidin (kaum pembaharu). 
Gerakan mujaddidin menolak 
segala bentuk taqlid, khususnya 
kepada para mujtahid yang telah 
wafat seperti Imam Abu Hanifah 
(80-150H), Imam Malik Bin Anas 
(93-179 H), Imam Syafi’i 
(150-198 H) dan Imam Ahmad 
Bin Hambal (164-241 H). 
Kehadiran mereka tidak dapat 
dipungkiri lagi, bahkan 
mengundang reaksi yang cukup 
keras dari kaum taqlidiyyin (para 
pengikut empat imam mujtahid 
tersebut). 
Letak perbedaan kedua 
golongan ini, mujaddidin dan 
taqlidiyyin, sehubungan dengan 
masalah hukum Islam, adalah 
kaum mujaddidin berpendapat 
bahwa umat Islam hanya harus 
mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, 
dan tidak boleh mengikuti selain 
keduanya. Dengan demikian 
setiap muslim harus merujuk 
kepada Al-Qur’an dan Hadis 
secara langsung, tidak 
diperbolehkan mengikuti (taqlid) 
kepada pendapat ulama. 
Sementara kaum taqlidiyyin 
berpendapat, bahwa sah-sah 
saja seorang muslim mengikuti 
pendapat seorang ulama, 
khususnya para imam mazhab 
yang empat, karena pendapat 
mereka tidak lepas dari empat 
dasar hukum, Al-Qur’an, Sunnah, 
Ijma dan Qiyas. Apalagi mereka 
lebih dekat ke zaman kenabian 
dari pada umat Islam sekarang 
ini. 
Lebih dari itu kaum taqlidiyyin 
membatasi ijtihad hanya kepada 
empat imam mazhab tersebut. 
Dengan pengertian, setelah 
keempat mujtahid tersebut tidak 
ada lagi mujtahid yang lain. 
Walaupun ada, maka itu hanya 
sebagai mujtahid fatwa bukan 
mujtahid mutlak, seperti Imam 
Nawawi di Mesir dan Imam Rafi’i 
di Suria. 
Jadi satu pihak mewajibkan 
setiap muslim merujuk langsung 
kepada Al-Qur’an dan Sunnah, 
walaupun dengan seperangkat 
ilmu alat seadanya serta dengan 
latar belakang pendidikan yang 
berbeda. 
Dengan kata lain, menurut pihak 
ini setiap muslim harus berijtihad 
(definisi ijtihad pada keterangan 
berikut) dan diharamkan taqlid. 
Sementara di pihak lain menutup 
pintu ijtihad rapat-rapat, 
sehingga tidak diperkenankan 
seseorang setelah empat imam 
mujtahid untuk berijtihad. 
Mereka harus mengikuti salah 
satu dari empat imam mujtahid 
tersebut. 
Definisi Ijtihad Sebelum 
mendiskusikan masalah ijtihad 
dan taqlid, terlebih dahulu perlu 
dijelaskan definisi ijtihad. Para 
ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan 
fuqaha dalam mendefinisikan 
ijtihad berkata, “Ijtihad adalah 
mencurahkan segenap upaya 
untuk mendapatkan hukum 
syari’at dari sumber aslinya.” 
Ulama Ahlu Sunnah dan Syi’ah 
berpendapat, bahwa sumber 
hukum Islam yang utama adalah 
Al-Qur’an dan Sunnah. Dan 
mereka beranggapan bahwa 
segala kasus yang dihadapi umat 
manusia pasti ada 
penyelesaiannya dalam Islam (Al- 
Qur’an dan Sunnah) baik secara 
langsung atau tidak dan kaum 
muslimin wajib merujuk dan 
mengikuti keduanya. 
Yang menjadi masalah, apakah 
setiap orang muslim dapat 
memahami maksud Al-Qur’an 
dan Sunnah, atau lebih dari itu 
apakah setiap muslim mampu 
bahkan harus mengambil hukum 
langsung dari keduanya ? 
Oleh karena masalah ijtihad 
adalah masalah bakat (malakah) 
yang ada pada seseorang, yang 
dengannya dia mampu menarik 
hukum (istinbath) dari sumber- 
sumbernya (Kitab Rasail, karya 
Imam Khumainy), maka tidak 
realistis kalau setiap muslim 
harus berijtihad. Karena setiap 
orang mempunyai bakat dan 
kecenderungan yang berbeda- 
beda. 
Sangat tidak realistis seseorang 
yang sibuk dengan keahliannya 
dalam bidangnya seperti dokter, 
insinyur dan lainnya dituntut 
untuk berijtihad. Demikian pula 
seorang buruh yang bersusah 
payah membanting tulang untuk 
mencari nafkah seharian penuh, 
dituntut berijtihad. 
Oleh karena itu, ijtihad tidak 
diharuskan atas setiap muslim. 
Akan tetapi, seseorang yang 
mempunyai bakat dan 
kemampuan karena 
penguasaannya terhadap 
beberapa disiplin ilmu, wajib 
berijtihad dan tidak boleh taqlid. 
Jadi, ijtihad tidak harus 
dilaksanakan oleh setiap muslim 
dan juga tidak terbatas pada 
beberapa orang saja. Ijtihad 
dapat dilakukan oleh setiap 
orang yang berbakat dan 
mempunyai kemampuan. 
Persepsi ini, barangkali bisa 
menjadi jembatan dan penengah 
antara kaum mujaddidin dan 
kaum taqlidiyyin. 
Memang, untuk menjadi 
mujtahid tidaklah mudah. 
Ayatullah Muthahhari, seorang 
mujtahid juga filosof 
menyebutkan beberapa disiplin 
ilmu yang harus dikuasai oleh 
seorang mujtahid, antara lain : 
1. Bahasa Arab 
Mencakup nahwu, sharaf, ma’ani, 
bayan dan badi. Karena sumber 
rujukan hukum Islam adalah Al- 
Qur’an dan Sunnah yang 
berbahasa Arab. Tanpa 
menguasai bahasa Arab dengan 
baik, seseorang sulit untuk 
memahami keduanya dengan 
baik. 
2. Tafsir Al-Qur’an 
3. Ilmu Manthiq atau logika 
Ilmu ini membahas tentang 
bagaimana cara berpikir logis 
dan berargumentasi yang tepat. 
Oleh karenanya, seorang 
mujtahid harus menguasainya 
agar dia dalam 
menginterpretasikan hukum dari 
Al-Qur’an dan Sunnah 
berdasarkan argumentasi yang 
tepat dan logis. 
4. Ilmu Hadist 
Seorang mujtahid harus 
menguasai benar hadis, asbabul 
wurud (konteksnya), pembagian- 
pembagiannya dan macam- 
macamnya. 
5. Ilmu Rijal 
Yaitu ilmu tentang perawi hadis. 
Seorang mujtahid harus 
mengetahui tentang biografi 
setiap perawi hadis sebelum 
mengkaji tentang matan hadis. 
Karena pengetahuan tentang 
ilmu ini akan menentukan 
kedudukan hadis dan akan 
mempengaruhi validitas hukum 
yang dikeluarkan oleh seorang 
mujtahid dari suatu hadis. 
6. Ilmu Ushul Fiqih 
Ilmu yang membahas tentang 
cara mengintrepretasikan hukum 
(dustur istinbath). Ilmu ini 
menggunakan peranan dari 
setiap disiplin ilmu yang 
dibutuhkan dalam istinbath 
(kitab al-Halaqat, karya Ayatullah 
Muhammad Baqir Shadr). 
Banyak bahasan yang tercakup 
dalam ilmu ini, misalnya apakah 
setiap kata kerja perintah (fi’il 
amr) mengandung arti wajib (al- 
wujub) atau tidak ? kalau tidak 
mengapa dan kapan ? atau 
misalnya bahasan tentang 
hujiyyah dhawahir yang 
ringkasnya apakah pemahaman 
secara lahiriah seorang mujtahid 
tentang sebuah ayat atau hadis 
itu (berstatus) hujjah atau tidak 
dan bahasan lainnya. 
Enam disiplin ilmu tersebut dapat 
dikuasai oleh siapa saja, 
sehingga tidak ada pembatasan 
jumlah mujtahid, tapi pada 
waktu yang sama keharusan 
menguasai enam disiplin ilmu 
tersebut membatasi orang-orang 
agar tidak menganggap enteng 
berijtihad (merujuk langsung 
kepada Al-Qur’an dan Sunnah) 
hanya dengan bermodalkan 
bahasa Arab yang ala kadarnya 
atau tanggung, apalagi hanya 
mengandalkan terjemahan 
belaka. 
Bolehkah bertaqlid ? 
Taqlid adalah beramal atas dasar 
fatwa seorang faqih / mujtahid 
(Lihat kitab Tahrir al-Wasilah, 
karya Imam Khumainy). 
Sebagaimana telah dijelaskan 
sebelumnya, bahwa setiap 
muslim harus merujuk kepada Al- 
Qur’an dan Sunnah, meskipun 
tidak semua orang muslim 
mampu merujuk kepada 
keduanya secara langsung 
(berijtihad) karena enam 
persyaratan tersebut, maka bagi 
yang tidak mampu 
diperkenankan bertaqlid. 
Kata-kata taqlid bagi sementara 
kaum muslimin adalah kata yang 
berkonotasi negatif. Bahkan 
sebagian ada yang 
mengharamkannya. Padahal 
masalah taqlid adalah sesuatu 
yang lumrah, wajar dan logis 
terjadi di tengah-tengah 
masyarakat. 
Kehidupan sosial umat manusia 
tegak atas dasar taqlid, karena 
taqlid tidak lain dari perbuatan 
seseorang yang tidak tahu 
merujuk kepada yang tahu dalam 
segala urusan. Misalnya seorang 
yang sakit merujuk kepada 
Dokter sebagai ahli kesehatan, 
seorang ulama meminta bantuan 
seorang insinyur ketika hendak 
membangun masjid dan 
pesantren dan sebagainya. 
Setiap orang yang tidak tahu 
dalam satu masalah atau urusan 
pasti merujuk kepada yang ahli 
dalam masalah dan urusan 
tersebut. Itulah yang dinamakan 
taqlid. Dalam hal ini tidak ada 
yang menganggap taqlid itu 
tidak baik. 
Demikian halnya dalam masalah 
syariat atau hukum (baca, fiqih), 
tidak semua orang mampu 
mengambilnya langsung dari Al- 
Qur’an dan Sunnah, karena 
pengambilan langsung dari 
keduanya bukan sesuatu yang 
mudah, akan tetapi perlu ada 
spesialisasi. Nah, orang yang 
awam tentang syariat, baik itu 
pedagang, petani, kaum intelek 
dan lainnya yang tidak 
membidangi syariat secara 
khusus, mau tidak mau mereka 
harus merujuk kepada orang 
yang ahli dalam masalah syariat. 
Alasan ini dalam istilah para 
ushuliyyun dan fuqaha disebut 
al-uruf al-uqala’i. 
Disamping itu ada beberapa ayat 
yang oleh sebagian ulama 
dijadikan dalil tentang 
diperbolehkannya taqlid dalam 
urusan syari’at, antara lain : 
1. Surat At-Taubah ayat 122 
"Tidak sepatutnya bagi semua 
orang mukmin pergi (berjihad). 
Mengapa tidak pergi dari setiap 
golongan di antara mereka 
beberapa orang untuk tafaqquh 
(belajar secara mendalam) dalam 
urusan agama. Dan (setelah itu) 
mereka hendaknya memberi 
peringatan kepada kaumnya 
kalau kembali kepada mereka, 
agar mereka dapat menjaga diri 
mereka."" 
Ayat ini secara implisit 
menyatakan, bahwa kewajiban 
orang yang tidak bertafaqquh 
untuk mengikuti dan menerima 
keterangan orang-orang yang 
bertafaqquh. 
2.Surat Al-Anbiya ayat 70 
"Maka bertanyalah kepada ahli 
dzikir, jika kalian tidak 
mengetahui." 
Ayat ini mengandung arti yang 
umum, karena ahli dzikir dapat 
diartikan sebagai ahli kitab, jika 
yang menjadi mukhatab (obyek) 
adalah kaum musyrikin dan juga 
dapat diartikan sebagai para 
imam atau ulama (ketika tidak 
ada imam) kalau yang menjadi 
mukhatab adalah umat Islam. 
Berdasarkan pengertian kedua, 
ketika Allah menyuruh umat 
Islam bertanya kepada para 
imam dan ulama, berarti mereka 
harus menerima jawaban yang 
diberikan oleh mereka.

0 komentar teman:

Proudly Powered by Blogger.