Dalam terminologi yurisprudensi
(hukum) Islam, kata Ijtihad dan
Taqlid adalah dua kata yang tidak
asing dan telah menjadi bahan
pembahasan para fuqaha dan
ushuliyyun sejak generasi
terdahulu sampai sekarang.
Akhir-akhir ini bahasan tentang
keduanya mulai marak kembali,
khususnya ketika muncul sebuah
gerakan yang menamakan
dirinya sebagai pengikut Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi saaw.
Mereka acapkali disebut dengan
mujaddidin (kaum pembaharu).
Gerakan mujaddidin menolak
segala bentuk taqlid, khususnya
kepada para mujtahid yang telah
wafat seperti Imam Abu Hanifah
(80-150H), Imam Malik Bin Anas
(93-179 H), Imam Syafi’i
(150-198 H) dan Imam Ahmad
Bin Hambal (164-241 H).
Kehadiran mereka tidak dapat
dipungkiri lagi, bahkan
mengundang reaksi yang cukup
keras dari kaum taqlidiyyin (para
pengikut empat imam mujtahid
tersebut).
Letak perbedaan kedua
golongan ini, mujaddidin dan
taqlidiyyin, sehubungan dengan
masalah hukum Islam, adalah
kaum mujaddidin berpendapat
bahwa umat Islam hanya harus
mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah,
dan tidak boleh mengikuti selain
keduanya. Dengan demikian
setiap muslim harus merujuk
kepada Al-Qur’an dan Hadis
secara langsung, tidak
diperbolehkan mengikuti (taqlid)
kepada pendapat ulama.
Sementara kaum taqlidiyyin
berpendapat, bahwa sah-sah
saja seorang muslim mengikuti
pendapat seorang ulama,
khususnya para imam mazhab
yang empat, karena pendapat
mereka tidak lepas dari empat
dasar hukum, Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma dan Qiyas. Apalagi mereka
lebih dekat ke zaman kenabian
dari pada umat Islam sekarang
ini.
Lebih dari itu kaum taqlidiyyin
membatasi ijtihad hanya kepada
empat imam mazhab tersebut.
Dengan pengertian, setelah
keempat mujtahid tersebut tidak
ada lagi mujtahid yang lain.
Walaupun ada, maka itu hanya
sebagai mujtahid fatwa bukan
mujtahid mutlak, seperti Imam
Nawawi di Mesir dan Imam Rafi’i
di Suria.
Jadi satu pihak mewajibkan
setiap muslim merujuk langsung
kepada Al-Qur’an dan Sunnah,
walaupun dengan seperangkat
ilmu alat seadanya serta dengan
latar belakang pendidikan yang
berbeda.
Dengan kata lain, menurut pihak
ini setiap muslim harus berijtihad
(definisi ijtihad pada keterangan
berikut) dan diharamkan taqlid.
Sementara di pihak lain menutup
pintu ijtihad rapat-rapat,
sehingga tidak diperkenankan
seseorang setelah empat imam
mujtahid untuk berijtihad.
Mereka harus mengikuti salah
satu dari empat imam mujtahid
tersebut.
Definisi Ijtihad Sebelum
mendiskusikan masalah ijtihad
dan taqlid, terlebih dahulu perlu
dijelaskan definisi ijtihad. Para
ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan
fuqaha dalam mendefinisikan
ijtihad berkata, “Ijtihad adalah
mencurahkan segenap upaya
untuk mendapatkan hukum
syari’at dari sumber aslinya.”
Ulama Ahlu Sunnah dan Syi’ah
berpendapat, bahwa sumber
hukum Islam yang utama adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Dan
mereka beranggapan bahwa
segala kasus yang dihadapi umat
manusia pasti ada
penyelesaiannya dalam Islam (Al-
Qur’an dan Sunnah) baik secara
langsung atau tidak dan kaum
muslimin wajib merujuk dan
mengikuti keduanya.
Yang menjadi masalah, apakah
setiap orang muslim dapat
memahami maksud Al-Qur’an
dan Sunnah, atau lebih dari itu
apakah setiap muslim mampu
bahkan harus mengambil hukum
langsung dari keduanya ?
Oleh karena masalah ijtihad
adalah masalah bakat (malakah)
yang ada pada seseorang, yang
dengannya dia mampu menarik
hukum (istinbath) dari sumber-
sumbernya (Kitab Rasail, karya
Imam Khumainy), maka tidak
realistis kalau setiap muslim
harus berijtihad. Karena setiap
orang mempunyai bakat dan
kecenderungan yang berbeda-
beda.
Sangat tidak realistis seseorang
yang sibuk dengan keahliannya
dalam bidangnya seperti dokter,
insinyur dan lainnya dituntut
untuk berijtihad. Demikian pula
seorang buruh yang bersusah
payah membanting tulang untuk
mencari nafkah seharian penuh,
dituntut berijtihad.
Oleh karena itu, ijtihad tidak
diharuskan atas setiap muslim.
Akan tetapi, seseorang yang
mempunyai bakat dan
kemampuan karena
penguasaannya terhadap
beberapa disiplin ilmu, wajib
berijtihad dan tidak boleh taqlid.
Jadi, ijtihad tidak harus
dilaksanakan oleh setiap muslim
dan juga tidak terbatas pada
beberapa orang saja. Ijtihad
dapat dilakukan oleh setiap
orang yang berbakat dan
mempunyai kemampuan.
Persepsi ini, barangkali bisa
menjadi jembatan dan penengah
antara kaum mujaddidin dan
kaum taqlidiyyin.
Memang, untuk menjadi
mujtahid tidaklah mudah.
Ayatullah Muthahhari, seorang
mujtahid juga filosof
menyebutkan beberapa disiplin
ilmu yang harus dikuasai oleh
seorang mujtahid, antara lain :
1. Bahasa Arab
Mencakup nahwu, sharaf, ma’ani,
bayan dan badi. Karena sumber
rujukan hukum Islam adalah Al-
Qur’an dan Sunnah yang
berbahasa Arab. Tanpa
menguasai bahasa Arab dengan
baik, seseorang sulit untuk
memahami keduanya dengan
baik.
2. Tafsir Al-Qur’an
3. Ilmu Manthiq atau logika
Ilmu ini membahas tentang
bagaimana cara berpikir logis
dan berargumentasi yang tepat.
Oleh karenanya, seorang
mujtahid harus menguasainya
agar dia dalam
menginterpretasikan hukum dari
Al-Qur’an dan Sunnah
berdasarkan argumentasi yang
tepat dan logis.
4. Ilmu Hadist
Seorang mujtahid harus
menguasai benar hadis, asbabul
wurud (konteksnya), pembagian-
pembagiannya dan macam-
macamnya.
5. Ilmu Rijal
Yaitu ilmu tentang perawi hadis.
Seorang mujtahid harus
mengetahui tentang biografi
setiap perawi hadis sebelum
mengkaji tentang matan hadis.
Karena pengetahuan tentang
ilmu ini akan menentukan
kedudukan hadis dan akan
mempengaruhi validitas hukum
yang dikeluarkan oleh seorang
mujtahid dari suatu hadis.
6. Ilmu Ushul Fiqih
Ilmu yang membahas tentang
cara mengintrepretasikan hukum
(dustur istinbath). Ilmu ini
menggunakan peranan dari
setiap disiplin ilmu yang
dibutuhkan dalam istinbath
(kitab al-Halaqat, karya Ayatullah
Muhammad Baqir Shadr).
Banyak bahasan yang tercakup
dalam ilmu ini, misalnya apakah
setiap kata kerja perintah (fi’il
amr) mengandung arti wajib (al-
wujub) atau tidak ? kalau tidak
mengapa dan kapan ? atau
misalnya bahasan tentang
hujiyyah dhawahir yang
ringkasnya apakah pemahaman
secara lahiriah seorang mujtahid
tentang sebuah ayat atau hadis
itu (berstatus) hujjah atau tidak
dan bahasan lainnya.
Enam disiplin ilmu tersebut dapat
dikuasai oleh siapa saja,
sehingga tidak ada pembatasan
jumlah mujtahid, tapi pada
waktu yang sama keharusan
menguasai enam disiplin ilmu
tersebut membatasi orang-orang
agar tidak menganggap enteng
berijtihad (merujuk langsung
kepada Al-Qur’an dan Sunnah)
hanya dengan bermodalkan
bahasa Arab yang ala kadarnya
atau tanggung, apalagi hanya
mengandalkan terjemahan
belaka.
Bolehkah bertaqlid ?
Taqlid adalah beramal atas dasar
fatwa seorang faqih / mujtahid
(Lihat kitab Tahrir al-Wasilah,
karya Imam Khumainy).
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa setiap
muslim harus merujuk kepada Al-
Qur’an dan Sunnah, meskipun
tidak semua orang muslim
mampu merujuk kepada
keduanya secara langsung
(berijtihad) karena enam
persyaratan tersebut, maka bagi
yang tidak mampu
diperkenankan bertaqlid.
Kata-kata taqlid bagi sementara
kaum muslimin adalah kata yang
berkonotasi negatif. Bahkan
sebagian ada yang
mengharamkannya. Padahal
masalah taqlid adalah sesuatu
yang lumrah, wajar dan logis
terjadi di tengah-tengah
masyarakat.
Kehidupan sosial umat manusia
tegak atas dasar taqlid, karena
taqlid tidak lain dari perbuatan
seseorang yang tidak tahu
merujuk kepada yang tahu dalam
segala urusan. Misalnya seorang
yang sakit merujuk kepada
Dokter sebagai ahli kesehatan,
seorang ulama meminta bantuan
seorang insinyur ketika hendak
membangun masjid dan
pesantren dan sebagainya.
Setiap orang yang tidak tahu
dalam satu masalah atau urusan
pasti merujuk kepada yang ahli
dalam masalah dan urusan
tersebut. Itulah yang dinamakan
taqlid. Dalam hal ini tidak ada
yang menganggap taqlid itu
tidak baik.
Demikian halnya dalam masalah
syariat atau hukum (baca, fiqih),
tidak semua orang mampu
mengambilnya langsung dari Al-
Qur’an dan Sunnah, karena
pengambilan langsung dari
keduanya bukan sesuatu yang
mudah, akan tetapi perlu ada
spesialisasi. Nah, orang yang
awam tentang syariat, baik itu
pedagang, petani, kaum intelek
dan lainnya yang tidak
membidangi syariat secara
khusus, mau tidak mau mereka
harus merujuk kepada orang
yang ahli dalam masalah syariat.
Alasan ini dalam istilah para
ushuliyyun dan fuqaha disebut
al-uruf al-uqala’i.
Disamping itu ada beberapa ayat
yang oleh sebagian ulama
dijadikan dalil tentang
diperbolehkannya taqlid dalam
urusan syari’at, antara lain :
1. Surat At-Taubah ayat 122
"Tidak sepatutnya bagi semua
orang mukmin pergi (berjihad).
Mengapa tidak pergi dari setiap
golongan di antara mereka
beberapa orang untuk tafaqquh
(belajar secara mendalam) dalam
urusan agama. Dan (setelah itu)
mereka hendaknya memberi
peringatan kepada kaumnya
kalau kembali kepada mereka,
agar mereka dapat menjaga diri
mereka.""
Ayat ini secara implisit
menyatakan, bahwa kewajiban
orang yang tidak bertafaqquh
untuk mengikuti dan menerima
keterangan orang-orang yang
bertafaqquh.
2.Surat Al-Anbiya ayat 70
"Maka bertanyalah kepada ahli
dzikir, jika kalian tidak
mengetahui."
Ayat ini mengandung arti yang
umum, karena ahli dzikir dapat
diartikan sebagai ahli kitab, jika
yang menjadi mukhatab (obyek)
adalah kaum musyrikin dan juga
dapat diartikan sebagai para
imam atau ulama (ketika tidak
ada imam) kalau yang menjadi
mukhatab adalah umat Islam.
Berdasarkan pengertian kedua,
ketika Allah menyuruh umat
Islam bertanya kepada para
imam dan ulama, berarti mereka
harus menerima jawaban yang
diberikan oleh mereka.
0 komentar teman: